Ustad Drs Ahmad Sukina, Ketua Umum Majlis Tafsir Alquran (MTA)
Allah berkehendak untuk mengangkat derajat orang-orang yang beriman ke tingkat yang tertinggi yakni takwa. Sebagaimana kita ketahui, yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa.
Untuk itu, Allah menyediakan mekanisme untuk menjadi orang bertakwa melalui puasa Ramadan. Puasa tidak sekedar membiasakan diri agar tahan lapar, haus dan tidak bersetubuh dengan suami/istri. Walau semua itu bukan pekerjaan mudah. Itu memerlukan kesungguhan untuk bisa melaksanakannya dengan baik. Padahal pada hari-hari biasa, semua itu halal bagi setiap orang Islam. Betapa hebatnya orang yang sukses dalam puasa Ramadannya, karena terhadap hal-hal yang halal saja dia mampu mengendalikan diri, karena ketaatannya kepada Allah. Sudah pasti orang seperti ini akan mampu mengendalikan diri dari hal-hal yang diharamkan Allah di luar Ramadan.
Namun di samping mengendalikan diri dari makan, minum, dan berhubungan dengan suami/istri, orang berpuasa diwajibkan pula untuk mengendalikan tutur kata dan perbuatannya dari kedustaan. Rasulullah SAW pernah mengingatkan bahwa orang yang berpuasa tetapi tidak mengendalikan tutur katanya, masih berdusta dengan lisan dan amalnya, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan hausnya. Hadis ini mengingatkan agar umat Islam memahami hakikat puasa dan menjalankan puasa secara hakiki, tidak sekedar formalitas untuk memenuhi syariat puasa. Meskipun puasa kita masih sah menurut syariat Islam, namun kalau tidak membawa kepada tujuannya (takwa), maka kita termasuk rugi. Yang ingin kita raih dalam setiap amal perbuatan adalah rida Allah. Rugi sekali kalau Allah tidak rida, tidak butuh lapar dan haus kita. Na’udzubillah.
Lebih dari itu, puasa menuntut kita untuk pandai mengendalikan hawa nafsu. Hanya orang-orang yang teguh mengendalikan hawa nafsu yang mampu berbuat taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan senang hati, mereka akan mengorbankan keinginannya untuk Allah. Dengan senang hati, mereka berusaha membersihkan kekotoran jiwanya untuk mendapatkan rida Allah. Dengan senang hati, mereka membimbing hawa nafsunya agar senantiasa sesuai dengan kehendak Allah. Mereka yang senantiasa membimbing diri untuk berbuat taat kepada Allah dan rasul-Nya, dinilai Allah sebagai orang yang telah memperoleh kemenangan yang besar. Firman Allah dalam QS Al Ahzab: 71, ”Wa man yuthi’illaaha wa rasuulahu faqad faaza fauzan ‘adhiima”, barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah memperoleh kemenangan yang besar.
Sebaliknya, bila puasa Ramadan kita tidak membuahkan kemampuan untuk mengendalikan hawa nafsunya, orang seperti ini akan berisiko disesatkan Allah (QS Adz Dzariyat: 23).
Saudaraku, agar puasa kita berbuah kenikmatan yang kekal di akhirat, maka jangan sampai kita terjebak formalitas dalam berpuasa. Di samping berusaha maksimal untuk tidak makan, minum, dan bersetubuh dengan suami/istri, mari kita bersihkan jiwa kita dengan menjaga lisan kita dari berbuat doa. Kita jauhi dusta, ingkar janji, gibah, apalagi fitnah. Kita bersihkan jiwa kita dari munculnya keinginan-keinginan untuk berbuat maksiat. Sadari bahwa di samping kanan dan kiri kita ada malaikat Raqib dan ‘Atid yang selalu teliti mencatat amal kita dan kita harus mempertanggungjawabkannya. Mari kita bersihkan jiwa kita dengan puasa. Hanya orang-orang yang bersih jiwa saja yang berhak untuk mendapatkan surga-Nya (QS Asy Syu’ara: 89). Jangan lagi puasa kita sia-sia. Ramadan ini harus berbeda dari sebelumnya demi menggapai rida-Nya, insya Allah.
Sumber: www.solopos.co.id
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan mengisi komentar sesuai dengan isi artikel.