Kamis, 18 September 2008

Pengelana

Kabut merubah segala warna menjadi lebih putih, menyejukkan bahkan membuat gigil tulang-tulang ini, pagi hari di lereng merapi berlatarkan suara nyanyian syahdu burung kenari dan tarian kupu-kupu di taman bunga menjadikan indah senin pagi pertengahan bulan Agustus itu.


Hampir setengah jam aku menunggu mentari, mandi cahayanya yang menghangatkan kehidupan, membangunakan benak, penat bahkan konak yang sedari tadi malam selalu menggelayut di depan mata. Satu jam telah berlalu, tatap malu mentari mengujam mata hati ini, redup terasa sinarnya, tak seperti biasa yang memang menyengat.
Kabut putih mengintari pemandangan yang seharusnya terlihat asri, tidakkah ini pertanda hari akan segera hujan, ataukah hanya angin yang bertiup berlahan berlalu dan tanpa meninggalkan partikel kabut itu meresap ke tanah, ataukah hanya sebuah pralambang akan terjadinya suatu kejadian. Aku berharap yang terakhir tidak, walaupun banyak warga kami yang dahaga karena merana tanpa air, kering kerontang gurun pasir.
Suara itu berkumandang dari corong mushola dekat rumah saya, ngeprek, menggema -karena echo di apmlifier terlalu besar- menjadikan suara itu seperti pencari rongsok. samar-samar tidak jelas suara itu terselundup di balik lubang2 rumah saya. "Innalillahi wa innaillaihi roji'un...." itulah kata yang jelas terdengar di telinga kami sekeluarga. Tak pelak kami langsung berucap sama "innalillahi wa innaillaihi roji'un" koor serempak bak paduan suara Voca Erudita dari UNS yang terkenal itu, nyaring tanpa tatanan notasi. Saling pandang dan bertanya dalam batin masing-masing, gerakan reflek memang tak bisa di tahan hati bersuara bak kapten kapal sang otak kepala ini menyuruh para awak kapal melangkah keluar memacu laju baling2 kapal 200 knot. Di jalanan penuh sesak dengan orang2 yang penasaran, siapa gerangan yang menghembuskan nafas terakhir, tafakur dan dinginnya lereng Merapi pagi itu menjadi menggigil. "mbah Sarinem meninggal" lagi Voca Erudita anak desa menggema, ini tambah parah, antara nada treble, bas, dan string berjalan sendiri-sendiri, tidak satu padu, batin ini tertawa terbahak-bahak tapi apakah sopan atau bahkan kurang ajar kalo saja saya menuruti kapten kapal?. Bergegaslah kami sekampung menuju tempat persemayaman mbah Sarinem di desa Tegalsari, ada yang guyon, sedih tapi tidak sampai meneteskan air mata, ada yang tenang biasa saja.
Mbah Sarinem merupakan seorang nenek yang berumur 80 tahunan tanpa seorang anak, orang bilang dia itu gabuk, tapi mempunya tiga anak angkat yang dipelihara semenjak kecil hingga berumah tangga, dia bernama Sagi, Wiji dan Kemat. Dahulu kala mereka adalah keluarga yang harmonis karena beberapa hal mereka saling membenci pro dan kontra istilah ilmiahnya. Pro dengan siapa dan kontra dengan siapa semua tidak tau pasti, isu yang menyebar adalah tentang harta warisan. Sagi diberi pekarangan seluas 2000 meter persegi, Wiji yang perempuan memperoleh ladang 500 m, dan Kemat paling banyak bagiannya, yaitu pekarangan 2000 m dan ladang 500 m. Itulah sebabnya si Sagi sama Wiji tidak pernah setuju dengan ketok palu sang ibu angkat mbah Sarinem. Mulai hidupa berumah tangga hingga ibunya sakit kritis mereka tidak menengok barang sekalipun ibarat Asu sama Kucing, hingga ibunya sakit parah sekalipun mereka tidak mau menengok. Anehnya ketika ibunya meninggal dunia mereka mengaku-aku bahwa AKU lah yang merawat. Tangis sinis dan ironi di tunjukkan kepada semua peziarah yang menghadiri acara permakaman mbah Sarinem.
Senyum kecut itu juga terlontar dari bibir ku......

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar sesuai dengan isi artikel.