This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 11 September 2009

Satu inti

Kemarin pagi saya melihat seorang tua berjalan tertatih di tengah dinginnya pagi. Melangkah pelan di jalanan yang berbatu, sesekali dia melihat ke kiri dan kekanan kadang menengok ke belakang. Dia mengingatkanku akan masa depan yang seperti itu. Setiap langkah begitu berarti bagi dia, tak mampu menopang semua beban tubuh , tongkat kayu bengkok berwarna cokelat selalu menemani dimanapun dan kapanpun, bisa dibilang itu sudah menjadi kebutuhan primer dia saat ini.

Selang beberapa hari kusempatkan diri ini menelusuri dinginnya pagi di akhir pekan bulan Juli. Terlihat disana seorang tua yang duduk di atas kursi roda yang mengkilap, di belakangnya seorang gadis muda berpakaian serba putih perlahan mendorong kursi roda itu. Tanpa takut akan sesuatu sang tua tadi menikmati suasana pagi itu. Duduk tenang dan nyaman di antara lalu lalang orang yang berlarian di pagi itu. Pertanyaan besar yang bermain di pikiranku, kenyamanan dia tak berbanding lurus dengan ekspresi wajahna, ada apa gerangan?. Putaran rodanya mengantarkan dia sampai matahari telah bertengger 35 derajat sebelah timur. Kulihat lengan tangan ini, jarum jam ini mengarah ke angka 9 dan 11, saatnya pulang gumamku dalam hati.

Esok paginya saya mengayug pedal sepedaku mengarungi jalanan pegunungan yang menanjak, ku melihat seorang muda yang mengenakan stelan jas necis lengkap dengan aksesorisnya, menenteng tas jinjing, membuka pintu mobil keluaran terbaru, di samping rumahnya ada lagi seorang muda yang menggunakan pakanain seadanya, jeans kumal penuh dengan noda hitam di sana-sini, dan topi yang ada menempel di kepalanya itu menandakan sudah laik buang. Perlahan dan terus aku kayuh laju sepeda ini sampai di depan kerumunan banyak orang dengan masing-masing aktifitasnya. Ada yang berdiri dan berteriak teriak mencari penumpang, ada yang mengenakan rompi oranye, ada yang memegangi sayuran, ada yang menata koran, ada yang membersihkan peralatan elektronik dan masih banyak aktifitas lainnya.

Terus kuberjalan sambil mengamati keadaan, hingga kaki ini terasa lelah dan kuputuskan untuk beristirahat sejenak melepas lelah. Kusandarkan tubuh ini di sebuah kursi kecil yang terdapat di depan sebuah bangunan kantor, din din... suara klakson mobil itu meraung menandakan pak satpam harus menunaikan tugasnya.... kkkkreeetttt suara pintu terbuka dan mobil itu masuk dengan perlahan hingga tak terlihat lagi. Selang beberapa detik kemudia banyak gerombolan manusia yang mengenakan seragam coklat keputihan masuk dengan bermacam kendaraan, sikut sana, sikut sini, tendang sana, tendang sini, hanya untuk mengindari pukul tujuh. Seperti kumpulan ayam yang disebari makanan.

Perlahan ku berfikir dan memandang jauh kehijauan pepohonan yang tertata apik di lereng-lereng pegunungan yang terlihat asri, terhanyut aku akan suasana pagi ini, begitu banyaknya orang yang bergerak tak satupun yang sama.

Ada yang berperan menjadi bos, bengkel, pedagang, calo bus, pegawai pemerintahan, seorang tua yang masih aktif mempertahankan hidupnya, seorang renta yang menikmati hartanya. Dan aku sendiri berperan menjadi apa, aku tak bisa menjawabnya. Mereka semua bisa diumpamakan seperti minuman hangat yang terdapat di dalam gelas lengkap dengan tutupnya. Ada yang seperti kopi, susu, air putih, Vodka, Jahe, Teh, air putih biasa, lengkap dengan tetek bengek pengikut kenikmatannya. dan ketika satu persatu ku buka tutup gelas tersebut, terdapat kumpulan air putih yang melekat di tutup itu, ku buka lagi gelas yang berisi kopi, oh......... di tutupnya juga sama hanya air putih yang berkumpul, kubuka gelas yang berisi susu, oh...... di tutupnya juga sama hanya air putih yang berkumpul, kubuka gelas yang berisi vodaka, oh...... di tutupnya juga sama hanya air putih yang berkumpul, begitu seterusnya hingga gelas terkhir yang hanya berisi air putih netral, dan ternyata oh...... di tutupnya juga sama hanya air putih saja yang berkumpul.

Ternyata manusia itu hanya satu.....

Kisah juragan Darso

Pagi itu Sagi bocah kecil yang tak lulus Sekolah Dasar menggembalakan sapi-sapinya di tanah lapang ujung desa, udara pagi, rerumputan masih tertempel air embun membuat sapi-sapi itu melahap penuh semangat.

ada Limousin, brahma, metal dan beberapa sapi perah. Seperti menjadi aturan baku diatara mereka, Semua tertib tanpa mengganggu satu sama lain. Protein kabohidrat dan mineral yang terkandung dalam rumput serta air embun tuk selekasnya mengisi full tank perut mereka.

Bulatan matahari malu-malu menampakkan diri, berselimut dibalik awan, semeridik angin menambah dinginnya suasana pagi di lereng merbabu. Hari ini tanggal 15 bulan Ruwah dalam penanggalan jawa bertepatan dengan upacara tradisi sadranan di desa saya. Para ibu sibuk dengan peralatan dapurnya, bapak-bapak dan pemuda sibuk dengan kerja bakti membersihkan lingkungannya. Ya... hari ini akan diadakan bancakan di rumah bapak RT sebagai bentuk puji syukur atas nikmat dan karunia rejeki Tuhan, yang telah memberikan kesejahteraan masyarakat.

Mayoritas penduduk adalah petani dan peternak, ada juga pak buru, saudagar, tuan tanah dan yang pasti juragan Darso bos usaha penyembelihan sapi. Bulan ini, Ruwah, merupakan bulan yang sangat sibuk buat pak Darso bersama stakeholdernya, dikarenakan bulan ini adalah bulan yang tepat dimana kebutuhan akan daging pada bulan Puasa dan Syawal akan meningkat tajam, stok daging sapi haruslah lebih banyak dibanding bulan-bulan lainnya. Ruwah ini dan mungkin Ruwah-ruwah tahun yang akan datang merupakan berkah dan rejeki yang sangat sempurna bagi Pak Darso, bagaimana tidak? bersamaan dengan tahun ajaran baru harga sapi dan binatang ternak lainnya akan mengalami ekskalasi penurunan harga. Dan itu adalah berkah baginya.

******/***********/***********

Hilir mudik truk dan mobil bak terbuka pagi buta meraung-raung di halaman rumah pak Darso yang memang memiliki ukuran yang sangat luas. ”gluduk, gluduk, brugh..........” suara kaki-kaki sapi diturunkan dari mobil. Satu persatu sapi diturunkan, giliran mereka dikandangkan di belakang rumah pak darso yang mewah. Mardi, karyawan senior bertanggungjawab selama agenda ”ruwahan” ini mengeluh tentang goal yang dicanangkan pak Darso.

”Kenapa tiap tahun kita harus menganiaya sapi-sapi itu, dan selalu bertambah banyak” keluh Mardi kepada Ji’un, teman kerja bertugas sebagai penyembelih sapi. ”heffffffffffffffmmmmmm,,,,,” nafas panjang Ji’un menyanyi diantara gumaman sapi-sapi yang sebentar lagi akan menemui akhir hayatnya. ”ini adalah ladang kita, tempat dimana kita bisa menghidupi anak isteri kita, dimana lagi selain disini di...” ucap Ji’un di ikuti anggukan kepala Mardi menandakan kesetejuaannya.

Hari terus berganti tak terasa tanggalan di pojok kandang itu menunjukkan angka 27 bulan Agustu dan itu pertanda bulan puasa kurang 2 hari lagi.
”Di, ’Un.... awal puasa kita mulai penyembelihan, persiapkan semua keperluannya” sergah Pak Darso membuyarkan lamunan mereka ”inventaris semua kebutuhan dan beli ke toko Pak Dahlan bilamana ada perlengkapan yang belum ada.” Setalah titah itu terucap mereka mempersiapkan semua kebutuhan, ada selang, ada torong besar, puluhan ember dan pastinya 10 bak besar di belakang kandang itu harus penuh isi dengan air.

Malam hari H penyembelihan, Ji’un dan Mardi mengadakan rapat kecil bersama tim suksesnya. Ada 10 orang warga kampung dan beberapa kolega membahas tentang rencana penyembelihan itu. Rapat telah usai, mereka bergegas pulang dan menyiapkan tenaga buat besok.

Kokok ayam pagi memanggil Mardi tuk segera bangun. sinar mentari pagi menerobos masuk melewati lubang-lubang diding rumah Mardi yang masih terbuat dari gedek bambu, itu menandakan Mardi secepatnya datang ke ”pabrik” daging sapi pak Darso, langkah cepat mengiringi Mardi, tak sampai sepuluh menit sapaan Ji’un menggema
”pagi mas Mardi....”
”pagi, gimana semua sudah menampati posnya masing-masing?” selorohnya, ”semua sudah siap sedia ndan, 86...” gaya Ji’un laksana polisi yang berpangkat Bripka.

******/***********/***********

Satu persatu sapi-sapi itu dipersiapkan di tempatnya, Limousin, metal, brahma dan beberapa sapi putih Jawa lainnya. Masih ingat anak penggembala tadi? Sagi, ya Sagi anak kecil duduk termenung di pojok kandang, kedua bola mata anak itu bebinar melihat tingkah polah orang2 dewasa itu. Selang berukuran 1,5 inchi dimasukkan paksa ke mulut-mulut sapi itu, ”ghrrrreeeehhh..... mooooooghhhhhhhhhh...” ronta sapi, satu persatu selang terpasang di congor sapi, air mulai mengalir dengan derasnya dari bak penampungan air belakang kandang. Mardi, Ji’un dan bebarapa koleganya duduk sambil mengisap tokok tingwe, canda mereka melukai hati Sagi, tawa mereka melukai sapi-sapi dan tawa mereka membawa keuntungan yang berlipat bagi pak Darso, bos mereka.

Tenaga sapi-sapi yang kering gering itu tak kuasa melepaskan ikatan dadung yang mengikat kuat keempat kaki dan tubuhnya, ronta mereka menambah deras laju air masuk kedalam lambungnya, sesekali mereka memuntahkan, menolak air yang masuk kedalam mulutnya, untung tak diraih malang tak dapat ditolak, mereka pasrah dengan apa yang dilakukan oleh manusia-manusia itu, jikalau mereka dapat bicara mungkin sudah menelepon 911 ”may day... may day... may day... penganiayaan terjadi di sini....” tapi suara mereka hanya erangan dan meronta menghabiskan sisa tenaga tuk melepaskan diri. Sudah 2 jam tali temali itu mengikat kuat erat tubuh mereka, hingga membuat semua berubah total, 2 jam yang lalu, tubuh kering gering menjadi gemuk subur, lemas... ya lemas dengan 0 energi di dalam tubuh mereka, kepala mereka thela-thelo lemas.

Mardi, Ji’un dan rekan2nya melepaskan satu persatu tali yang melekat di tubuh sapi-sapi itu, ”bruggggggggghhhhh......” limousin tersungkur di tanah diikuti metal, brama dan puluhan sapi jawa lainnya. Biarpun tubuh mereka tlah menggelembung tambun, selang-selang itu masih tertancap di mulut, kucuran air terlus masuk deras ke lambungnya. Mata mereka mlorok pertanda kesakitan yang teramat sangat, Sagi perlahan menundukkan kepala, buliran air menetes deras dari kedua bola matanya, sesekali terdengar senggukan, tapi dia anak yang kuat, biarpun bodoh tapi dia anak pintar, anak yang tau mana yang seharunya dan tidak boleh terjadi. Tapi keberanian dan kekuatan tuk melawan belum bisa keluar dari raganya yang kecil itu, 13 tahun umurnya.

Jam sudah menunjukkan angka 1 siang pelepasan selang2 yang tertancap di mulut sapi itu harus dilepas. Keadaan yang mengenaskan, antara hidup dan mati, pasti sapi2 itu pilih mati saja saat ini, setelah 6 jam dipaksa meminum air yang berjumlah puluhan kubik. Mereka hanya bisa tidur tanpa bisa berbuat banyak. Istirahat siang, makanan dan minuman tersedia lengkap di pendapa rumah bos Darso, para pekerja termasuk Mardi dan Ji’un melahap hidangan dengan canda ria tanpa memikirkan apa yang telah mereka kerjakan adalah penyiksaan, sapi juga mahluk tuhan, ada cara yang halal tuk penyembelihan.

Ya... karena faktor uang lebih, Pak Darso melupakan hal itu, yang ada di pikirannya hanyalah untung, untung dan untung. Bayangkan dengan Rp. 45.000/Kg dengan satu sapi glonggongan mendapatkan 3-4 kuintal daging murni, belum termasuk pernak-pernik lainnya, ada tulang, ada kulit, ada kepala dan lainnya yang menempel di sapi. Setiap sapi menghasilkan keuntungan bersih 4 juta tinggal mengalikan berapa puluh sapi yang di potong, bandingkan dengan penyembelihan tanpa glonggongan satu sapi maksimal keuntungannya hanya 1,5 juta. Jauh banget.

Sapi-sapi yang telah tegulai lemas dibiarkan sampai tengah malam, sekitar 12 jam. Jarum jam menunjuk angka 11 malam, mereka harus kembali ke rumah Pak Darso untuk mulai memotong dan pengklasifikasian sesuai dengan bagian masing-masing. 4 jam berlalu 15 sapi itu selesai di proses, dikemas dan didistribusikan ke pedagang jaringan dading glonggongan, paling jauh adalah Jakarta dan Surabaya. Setiap 4 hari selama bulan ramadan sampai H-7 lebaran Pak Darso melaksanakan ”penganiayaan” terhadap minimal 10 sapi, dan disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan.

******/***********/***********

Hidup bergelimang harta, anak, dan isteri yang setia membuat Pak Darso bagaiakan hidup di surga, nikmat, nyaman, aman dan sejahtera. Suatu malam tanggal 14 Apit dalam penanggalan jawa, pikiran Pak Darso tidak tenang, seperti ada sesuatu yang mengganggu kenyamanan hidupnya, jam menunjukkan pukul 11.30 mata Darso belum terpejam, lampu dimatikan mencoba sekuat tenaga tuk memejamkan mata, akan tetapi tetap mata itu tak mau menutup malahan membelalak terbuka sampai pukul 00.20 Pak Darso mendengar kegaduhan di pendopo rumah belakang. ”ada apa itu” gumam Darso dalam hati, kaki-kaki gembul dia melangkah melewati kilauan marmer lantai rumahnya, dibuka pintu butulan belakang, seketika Pak Darso terperanjat, matanya melihat puluhan bahkan ratusan sapi yang berjoget riang gembira, kilatan lampu laser mengiringi hentakan musik, menggoyang tubuh sapi-sapi itu, aneka macam makanan dan minuman sapi tersedia melimpah ruah di pendopo yang memang sangat lapang, kaki gembul Darso menggigil mencoba sekuat tenaga lari sekencang-kencangnya, Darso tak peduli lagi dengan meja, kursi, tape deck dan perlengkapan rumah lainnya. Bruhgh... brah.... glondang.... pyarrrrr.... semua di terjang lari tunggang langgang, sorak sorai sapi-sapi itu terus mengejarnya, semakin kencang berlari semakin meriah, semakin semarak suara sapi-sapi itu.

Selama 4 jam Darso lari dan bergelinjang ketakutan, keringan mengucur membasahi baju tidur sutranya. Isteri, anak dan banyak tetangga berkumpul dirumah mewah itu mencoba menenangkan pak Darso, tapi penglihatan mata dan suara yang terdengar hanyalah kejaran dan suara sapi-sapi itu. Hingga kumandang adzan subuh pak darso masih bergelinjang berlari kesana-kemari, tak satu orangpun yang berhasil memberhentikannya. Semua terlihat mencekam ketakutan, ”sapi.... sapi.... sapi itu, pergi... pergi.. pergi.... oh..... tidak, jangan jangan injak-injak aku, ampuni aku, jangan jangan, janga................nnnnnnnnnnn...,” ”brugggggghhhhh... pyarrrrrrrrr” tubuh tambun Pak Darso rubuh menimpa keramik hias, pecah, berantakan.

Semua diam, berkumpul dirumah itu, setelah menunggu sejam akhirnya dia siuman, diminumnya air putih. Rasa ketakutan masih terlihat jelas di muka pak Darso, matanya memandang curiga setiap orang yang datang.

Sebulan telah berlalu kondisi pak Darso masih sama, yang kelihatan berbeda hanyalah tatapan kosong dan ketakutan serta bentuk tubuhnya, yang dulu gendut tambun sekarang kurus, hanya dalam satu bulan saja. Hingga suatu ketika seorang kiayi, salah satu teman Pak Darso, menjenguk, dia sudah mengetahui secara detail akar permasalahannya. Dibimbingnya pak Darso oleh kiai itu, perlahan namun pasti jiwa pak Darso mulai pulih, ”kamu harus tobat, tidak mengulangi cara itu lagi, dan satu yang pasti kamu harus minta maaf ke pada anak kecil itu” kata pak kiayi sambil menunjuk Sagi. Tetap bocah itu, duduk termenung di kursi kecil pojok ruangan itu, anak yang setia, anak yang terlupakan.

Berhikmah dari udara

”Di sebuah kelas, seorang guru bertanya kepada murid-murid di hadapannya. ”Menurutmu, benda apa di dunia ini yang paling baik bagi manusia?”

Murid-murid tampak berpikir keras. Ada yang tatapannya menyapu seisi kelas, seolah mencari sesuatu. Ada yang bisik-bisik dengan teman sebangku. Dan ada yang tetap diam. ”Air, Pak Guru!” jawab seorang anak tiba-tiba.

”Kamu benar!” ucap pak guru menyambut jawaban seorang muridnya. ”Air memang menyediakan kehidupan. Tapi, tidakkah kamu perhatikan, air cuma mengairi manusia-manusia di sekitar aliran sungainya. Manusialah yang harus menjemput air. Bukan sebaliknya!” tanggap pak guru begitu lugas. Beberapa saat, suasana kelas hening.
”Cahaya, Pak Guru!” ucap seorang murid yang lain. ”Kenapa cahaya?” tanya pak guru memancing. ”Karena cahayalah kita bisa melihat. Bayangkan jika tanpa cahaya. Dunia akan gelap!” jelas si murid begitu mantap.

”Kamu juga benar!” jawab pak guru. ”Tapi, tidakkah kamu perhatikan kalau saat istirahat manusia tak butuh cahaya. Ada saatnya cahaya bisa menemani. Ada saatnya tidak,” ungkap pak guru kian membuat suasana kelas lebih serius.
”Gimana? Ada yang ingin berpendapat?” tanya pak guru memecah keheningan kelas yang mulai agak lama. Tapi, yang ditunggu tak juga muncul. Murid-murid tampak bingung. Tiba-tiba, ada seorang murid mengacungkan jari. ”Udara, Pak Guru!” ucapnya begitu yakin.

”Ya, saya lebih setuju pendapat itu!” ucap pak guru memberikan respons positif. ”Kenapa, Pak?” tanya murid-murid hampir bersamaan.
”Menurut saya,” ucap pak guru sambil menatap murid-murid begitu serius. ”Udara memberi kebaikan dengan mendatangi manusia. Bukan sebaliknya. Tanpa memamerkan diri, ia akan bersusah payah menyelinap di lubang sekecil jarum sekali pun, demi memenuhi kebutuhan manusia. Udara pula yang selalu menemani manusia, di mana dan kapan pun,” jelas pak guru begitu meyakinkan. Murid-murid pun mengangguk setuju.

***
Dalam pentas kehidupan, selalu ada pegiat kebaikan. Mereka memberi tanpa pamrih. Mereka pun berlomba untuk bisa menjadi orang yang paling bermanfaat. Berusaha memberi dengan yang terbaik.
Namun, tidak semua yang baik adalah yang terbaik. Bercermin pada tiga makhluk Allah seperti air, cahaya, dan udara mungkin akan menambah nilai kebaikan. Bahwa, produk kebaikan harus mengejar, bukan dikejar. Dan yang menarik, ia selalu bersama dengan yang membutuhkan, walaupun orang tak menganggap keberadaannya.
Kalau saja pegiat kebaikan memahami peringkat udara, ia pasti tak akan berpuas diri hanya sebagai air atau cahaya.

Sumber: www.eramuslim.com

Sahabat...

Dima semua ada kan bahagia
Bersama menjadi sempurna
Saat berkumpul bencada ria
Hidup ini lepas susahpun tak tersisa

Termenung sendiri dipojok dunia
Yang slalu menyalahkan dirimu
Kemari bergabung bersama kami
Menghibur diri, hatikan menjadi sebenarnya

Walaupun susah disini kami bahagia
Walaupun berat bersama terasa ringan

Aku kamu dia dan mereka satu
Kan menjadi besar kuatkan tekad
Mengiringi langkah maju kedepan
Mengisi hari dengan kreasi berawal dari sini, diri sendiri....

Duduk sini bersama kami
Dendang duka jadikan ceria
Imajinasi tercipta dengan sendiri
Semangat kita nyalakan dunia.

Aku kamu dia dan mereka satu
Kan menjadi besar kuatkan tekad
Mengiringi langkah maju kedepan
Mengisi hari dengan kreasi berawal dari sini, diri sendiri....

Aku kamu dia dan mereka satu
Kan menjadi besar kuatkan tekad
Mengiringi langkah maju kedepan
Mengisi hari dengan kreasi berawal dari sini, diri sendiri....

KOmentator di Facebook

You, Danang Nur Ihsan and Thalib Black like this.

Danang Nur Ihsan: 07 September at 21:43 ·
lha emang aku slankmania...hehehe dudu slankers lo


Burhan Aris Nugraha: 07 September at 21:47
Bud, mas kur usul dik hij di tag lho. . .

Budi Arkaeno Diharjo: 07 September at 22:16 ·
danang: sek penting ojo malayngmania wae... wkkkk
siap... wah jangkauan radarmu tekan kene bur...


Agung Joowog Suprapto: 07 September at 22:22 ·
sekumpul sahabat layaknya tentara tanpa senjata, sekumpulan tanpa pemimpin komunal, karena mereka masing-masing adalah pemimpin..

Budi Arkaeno Diharjo: Tues at 00:01 ·
kumpulan sahabata kuantitas besar akan menyejahterakan satu sama lain. karena sahabat itu ladang rejeki. entah salah atau benar tergantung prespektif individu.

Rini Sarwo: Tues at 00:56 ·
enake judule.....mangan ra mangan kumpul....he10x nyambung gak sech, ada makan2 nya gak sech....( eror.com )canda loh bud.....

Lusi Ana: Tues at 03:55 ·
Speechless..tulisanmu tak brjdul aja mknanya dah mewakili smua rasa..tp krna trbngkus satu elemen kbrsamaan jd rasa yg ada mlebur jd stu kesatuan..keindahan itu yg kutangkap dri bhsa tulisanmu..seolah kau ingin merengkuh smua org dlm sbuah kbhagiaan.;-)

Budi Arkaeno Diharjo: Tues at 07:59 ·
terkadang kita memandang sinis orang lain hanya karena hal yang berlawanan. tapi sebenarnya hal itu juga ada dalam diri kita sendiri, seberapapun persenannya pasti ada.


Lusi Ana: Tues at 19:58 ·
Manusia kdg tdk menyadari,bhwa dlm dri mrka ada dua sumbu.kdg bertolak blkg,kdg tarik menarik..suatu hal yg berlawanan itu sbnrnya indah.slm qt bjksana menyikapinya.jgn qt mencercanya.

Jiwaku kembali

”hey...”
Suara itu terdengar lagi, suara yang tak asing di telingaku. Kubalikkan badan ini sejurus kemudian, kedua tangan lembutnya memeluk erat tubuhku, hangat. ”bagaimana kabarnya, 5 tahun kita tak berjumpa” getaran bibirnya membuat sekujur tubuh menggigil, atara percaya dan tidak, lidahku kelu tubuhku dingin. ”so far so good Ran, how about ure self?” balasku.

Senja itu di sebuah kota pesisir kunikmati pemandangan matahari terbenam, sepoi angin menggoyang jiwa mengantarku ke tingkat yang selama ini tak pernah ku bayangkan. Semburat jingga di atas garis horizontal pantai membuat dingin suasana, lebih dari 10 menit kami berpelukan erat, sedikitpun kata terucap. Perlahan ku lepaskan pelukku, kuberanikan diri memandang wajah cantiknya, pancaran sinar wajahnya mengalahkan langit jingga sore itu, untung kaca mata hitam ini masih menempel di kedua mataku.

”sudah lima tahun tidak ada kabar, benar-benar berpisah” lirih suaraku memulai bincangan ini. ”selama ini saya dan ibu tinggal di Padang, tak pernah sedikitpun waktu hilang tanpa sosomu yah...” Nafasku sesak, hati dan jiwaku bergetar hebat, tak berapa lama air ini mengalir pelan membasahi pipiku, kata-kata yang selama ini aku nanti, kudengar kembali, yah... Ayah.... Lembut tangannya mengusap linangan ini, ”semua sudah terlajur yah, kemana saja selama ini, semua merindukan ayah, tak terkecuali Bunda, selalu merindukan kehadiran ayah di sisinya.” mata ini hanya menerawang jauh ke arah ombak yang berkejaran, buih-buih putih berkata penuh harap, andaikan aku mampu kan kuhapus pita kelam selama lima tahun ini dari kehidupan ku, kami.

Sang mentari telah menutup diri, berdiam diperaduannya, kami masih duduk termenung sesekali saling berpadangan. Sedikit kata yang terucap, tapi hati kami telah berkata ribuan bahkan jutaan kalimat. ”selama ini aku tak tau apa yang terjadi, kerjaan memaksa aku untuk memjelajah samudra, hati ini slalu mengajakku tuk kembali pulang, berkumpul dalam hangatkan belaian kalian, bagaimana ibumu, sehat dan bahagiakah, apakah kamu sudah mendapatkan ayah yang baru?”
” Bunda masih seperti yang dulu, mengurusi butiknya, mendesain dan mengurusi aku, Bunda belum menikah, kelihatannya masih menunggu ayah kembali,” polah tingkahnya masih sama seperti yang dulu, perlahan badannya disandarkan ke pundak ini, dituntunya tanganku tuk membelai lembut rambutnya. Masih sama seperti yang dulu.

”Ayah masih bimbang Ran, masih mencari cara yang tepat tuk kembali kepelukan kalian, ada rencana kearah sana, sambil menunggu waktu yang tepat. Sekarang kamu dimana, kok tau2 sampai di sini?”
”sekarang aku kuliah di UKN, ambil jurusan Desain, pengen meneruskan usaha Bunda” ucapnya manja, ”Ayah secepatnya harus kembali ke rumah, biar nanti saja yang mengurus rujuk Ayah sama Bunda, aku pastikan Bunda masih dengan senang hati menerima Ayah, ya yah...?”

Keegoisan pikiran sampai saat ini masih mengalahkan kata hatiku, jalan pikiranku tetap menuntunku ke arah kebebasan gerak. Entah sampai kapan aku kan kembali ke tempat sebenarnya, yang pasti kusatukan tujuanku dulu.

Dekil kecil tak berdosa

Hamparan debu menaungi panasnya siang yang seakan menghujat kerasnya raungan mesin jalanan kota. Terik sinar mentari selalu bertambah panas dari jam ke jam, di sini semua saling mendahului, tak peduli dengan situasi.

Tampak pandangan kosong bocah kecil dan lusuh dari seberang jalanan, murung dan membisu seakan ingin muntahkan emas berlian. Sejenak bermimpi tapi itu sanggunp ia jalani, hanyalah sepotong gulali pemanis dari kehidupan. Semakin lama kita disni semakin membuncah pikiran, menerawang jauh diawan di padang siang gersang.

Sebuah kejadian menyebabkan kejadian lain, hampa terasa ketika kejadian itu tak cepat terproses serta dipojokkan dengan keadaan. Di sini semu terasa kosong, mlompong, tak pun harapan yang membangun semangat tuk pergi. Mungkin hanya sebatas angan hampa tanpa terproses waktu, saat ku bertanya benarkah kehidupan itu punya roda, benarkah roda kehidupan itu berjalan, dan kemana arah tujuan dari roda-roda itu mengantarkan sang majikan.

Mungkinkah Si kecil itu punya roda, melihat saja dia seakan enggan, apalagi menapaki jalanan pagi. Dia selalu dan selalu melihat hamparan debu menaungi panasnya siang, dia raja seberang jalan. Bahagiakah dengan ini semua, tidak, silaukan tipuan mata lahir, bukan padangan sekejap para pengguna jalan namun lebih pada isi dari kehidupan yang dia jalani, kehidupan dan kekurangan yang sangat menyebabkan dia berusaha membahagiakan kehidupannya sendiri dengan cara dia sendiri. Siapa yang peduli?

Segelintir dari kita ingin meluangkan waktu tuk berbagi, maklum bila penebar air mata jalanan ini menangis terharu dan tersapu kabut asap, samar. Mereka tak merasakan itu, bermain dengan mobilan bahan kelupasan aspal. Bahagia, Kudapatkan pancaran itu dari dia. Bukannya tidak ingin berbagi tapi kita belum menulis rangkuman dan mempraktekkan dari apa yang kita baca. Bacalah tanpa henti keadaan ini, terasa takkan sia-sia, semua harus mendapatkan kesempatan dari sekecil apapun lubang kesempatan itu.

Dimana arti gemah ripah loh jinawi itu sekarang?