Jumat, 11 September 2009

Jiwaku kembali

”hey...”
Suara itu terdengar lagi, suara yang tak asing di telingaku. Kubalikkan badan ini sejurus kemudian, kedua tangan lembutnya memeluk erat tubuhku, hangat. ”bagaimana kabarnya, 5 tahun kita tak berjumpa” getaran bibirnya membuat sekujur tubuh menggigil, atara percaya dan tidak, lidahku kelu tubuhku dingin. ”so far so good Ran, how about ure self?” balasku.

Senja itu di sebuah kota pesisir kunikmati pemandangan matahari terbenam, sepoi angin menggoyang jiwa mengantarku ke tingkat yang selama ini tak pernah ku bayangkan. Semburat jingga di atas garis horizontal pantai membuat dingin suasana, lebih dari 10 menit kami berpelukan erat, sedikitpun kata terucap. Perlahan ku lepaskan pelukku, kuberanikan diri memandang wajah cantiknya, pancaran sinar wajahnya mengalahkan langit jingga sore itu, untung kaca mata hitam ini masih menempel di kedua mataku.

”sudah lima tahun tidak ada kabar, benar-benar berpisah” lirih suaraku memulai bincangan ini. ”selama ini saya dan ibu tinggal di Padang, tak pernah sedikitpun waktu hilang tanpa sosomu yah...” Nafasku sesak, hati dan jiwaku bergetar hebat, tak berapa lama air ini mengalir pelan membasahi pipiku, kata-kata yang selama ini aku nanti, kudengar kembali, yah... Ayah.... Lembut tangannya mengusap linangan ini, ”semua sudah terlajur yah, kemana saja selama ini, semua merindukan ayah, tak terkecuali Bunda, selalu merindukan kehadiran ayah di sisinya.” mata ini hanya menerawang jauh ke arah ombak yang berkejaran, buih-buih putih berkata penuh harap, andaikan aku mampu kan kuhapus pita kelam selama lima tahun ini dari kehidupan ku, kami.

Sang mentari telah menutup diri, berdiam diperaduannya, kami masih duduk termenung sesekali saling berpadangan. Sedikit kata yang terucap, tapi hati kami telah berkata ribuan bahkan jutaan kalimat. ”selama ini aku tak tau apa yang terjadi, kerjaan memaksa aku untuk memjelajah samudra, hati ini slalu mengajakku tuk kembali pulang, berkumpul dalam hangatkan belaian kalian, bagaimana ibumu, sehat dan bahagiakah, apakah kamu sudah mendapatkan ayah yang baru?”
” Bunda masih seperti yang dulu, mengurusi butiknya, mendesain dan mengurusi aku, Bunda belum menikah, kelihatannya masih menunggu ayah kembali,” polah tingkahnya masih sama seperti yang dulu, perlahan badannya disandarkan ke pundak ini, dituntunya tanganku tuk membelai lembut rambutnya. Masih sama seperti yang dulu.

”Ayah masih bimbang Ran, masih mencari cara yang tepat tuk kembali kepelukan kalian, ada rencana kearah sana, sambil menunggu waktu yang tepat. Sekarang kamu dimana, kok tau2 sampai di sini?”
”sekarang aku kuliah di UKN, ambil jurusan Desain, pengen meneruskan usaha Bunda” ucapnya manja, ”Ayah secepatnya harus kembali ke rumah, biar nanti saja yang mengurus rujuk Ayah sama Bunda, aku pastikan Bunda masih dengan senang hati menerima Ayah, ya yah...?”

Keegoisan pikiran sampai saat ini masih mengalahkan kata hatiku, jalan pikiranku tetap menuntunku ke arah kebebasan gerak. Entah sampai kapan aku kan kembali ke tempat sebenarnya, yang pasti kusatukan tujuanku dulu.

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar sesuai dengan isi artikel.