Jumat, 11 September 2009

Kisah juragan Darso

Pagi itu Sagi bocah kecil yang tak lulus Sekolah Dasar menggembalakan sapi-sapinya di tanah lapang ujung desa, udara pagi, rerumputan masih tertempel air embun membuat sapi-sapi itu melahap penuh semangat.

ada Limousin, brahma, metal dan beberapa sapi perah. Seperti menjadi aturan baku diatara mereka, Semua tertib tanpa mengganggu satu sama lain. Protein kabohidrat dan mineral yang terkandung dalam rumput serta air embun tuk selekasnya mengisi full tank perut mereka.

Bulatan matahari malu-malu menampakkan diri, berselimut dibalik awan, semeridik angin menambah dinginnya suasana pagi di lereng merbabu. Hari ini tanggal 15 bulan Ruwah dalam penanggalan jawa bertepatan dengan upacara tradisi sadranan di desa saya. Para ibu sibuk dengan peralatan dapurnya, bapak-bapak dan pemuda sibuk dengan kerja bakti membersihkan lingkungannya. Ya... hari ini akan diadakan bancakan di rumah bapak RT sebagai bentuk puji syukur atas nikmat dan karunia rejeki Tuhan, yang telah memberikan kesejahteraan masyarakat.

Mayoritas penduduk adalah petani dan peternak, ada juga pak buru, saudagar, tuan tanah dan yang pasti juragan Darso bos usaha penyembelihan sapi. Bulan ini, Ruwah, merupakan bulan yang sangat sibuk buat pak Darso bersama stakeholdernya, dikarenakan bulan ini adalah bulan yang tepat dimana kebutuhan akan daging pada bulan Puasa dan Syawal akan meningkat tajam, stok daging sapi haruslah lebih banyak dibanding bulan-bulan lainnya. Ruwah ini dan mungkin Ruwah-ruwah tahun yang akan datang merupakan berkah dan rejeki yang sangat sempurna bagi Pak Darso, bagaimana tidak? bersamaan dengan tahun ajaran baru harga sapi dan binatang ternak lainnya akan mengalami ekskalasi penurunan harga. Dan itu adalah berkah baginya.

******/***********/***********

Hilir mudik truk dan mobil bak terbuka pagi buta meraung-raung di halaman rumah pak Darso yang memang memiliki ukuran yang sangat luas. ”gluduk, gluduk, brugh..........” suara kaki-kaki sapi diturunkan dari mobil. Satu persatu sapi diturunkan, giliran mereka dikandangkan di belakang rumah pak darso yang mewah. Mardi, karyawan senior bertanggungjawab selama agenda ”ruwahan” ini mengeluh tentang goal yang dicanangkan pak Darso.

”Kenapa tiap tahun kita harus menganiaya sapi-sapi itu, dan selalu bertambah banyak” keluh Mardi kepada Ji’un, teman kerja bertugas sebagai penyembelih sapi. ”heffffffffffffffmmmmmm,,,,,” nafas panjang Ji’un menyanyi diantara gumaman sapi-sapi yang sebentar lagi akan menemui akhir hayatnya. ”ini adalah ladang kita, tempat dimana kita bisa menghidupi anak isteri kita, dimana lagi selain disini di...” ucap Ji’un di ikuti anggukan kepala Mardi menandakan kesetejuaannya.

Hari terus berganti tak terasa tanggalan di pojok kandang itu menunjukkan angka 27 bulan Agustu dan itu pertanda bulan puasa kurang 2 hari lagi.
”Di, ’Un.... awal puasa kita mulai penyembelihan, persiapkan semua keperluannya” sergah Pak Darso membuyarkan lamunan mereka ”inventaris semua kebutuhan dan beli ke toko Pak Dahlan bilamana ada perlengkapan yang belum ada.” Setalah titah itu terucap mereka mempersiapkan semua kebutuhan, ada selang, ada torong besar, puluhan ember dan pastinya 10 bak besar di belakang kandang itu harus penuh isi dengan air.

Malam hari H penyembelihan, Ji’un dan Mardi mengadakan rapat kecil bersama tim suksesnya. Ada 10 orang warga kampung dan beberapa kolega membahas tentang rencana penyembelihan itu. Rapat telah usai, mereka bergegas pulang dan menyiapkan tenaga buat besok.

Kokok ayam pagi memanggil Mardi tuk segera bangun. sinar mentari pagi menerobos masuk melewati lubang-lubang diding rumah Mardi yang masih terbuat dari gedek bambu, itu menandakan Mardi secepatnya datang ke ”pabrik” daging sapi pak Darso, langkah cepat mengiringi Mardi, tak sampai sepuluh menit sapaan Ji’un menggema
”pagi mas Mardi....”
”pagi, gimana semua sudah menampati posnya masing-masing?” selorohnya, ”semua sudah siap sedia ndan, 86...” gaya Ji’un laksana polisi yang berpangkat Bripka.

******/***********/***********

Satu persatu sapi-sapi itu dipersiapkan di tempatnya, Limousin, metal, brahma dan beberapa sapi putih Jawa lainnya. Masih ingat anak penggembala tadi? Sagi, ya Sagi anak kecil duduk termenung di pojok kandang, kedua bola mata anak itu bebinar melihat tingkah polah orang2 dewasa itu. Selang berukuran 1,5 inchi dimasukkan paksa ke mulut-mulut sapi itu, ”ghrrrreeeehhh..... mooooooghhhhhhhhhh...” ronta sapi, satu persatu selang terpasang di congor sapi, air mulai mengalir dengan derasnya dari bak penampungan air belakang kandang. Mardi, Ji’un dan bebarapa koleganya duduk sambil mengisap tokok tingwe, canda mereka melukai hati Sagi, tawa mereka melukai sapi-sapi dan tawa mereka membawa keuntungan yang berlipat bagi pak Darso, bos mereka.

Tenaga sapi-sapi yang kering gering itu tak kuasa melepaskan ikatan dadung yang mengikat kuat keempat kaki dan tubuhnya, ronta mereka menambah deras laju air masuk kedalam lambungnya, sesekali mereka memuntahkan, menolak air yang masuk kedalam mulutnya, untung tak diraih malang tak dapat ditolak, mereka pasrah dengan apa yang dilakukan oleh manusia-manusia itu, jikalau mereka dapat bicara mungkin sudah menelepon 911 ”may day... may day... may day... penganiayaan terjadi di sini....” tapi suara mereka hanya erangan dan meronta menghabiskan sisa tenaga tuk melepaskan diri. Sudah 2 jam tali temali itu mengikat kuat erat tubuh mereka, hingga membuat semua berubah total, 2 jam yang lalu, tubuh kering gering menjadi gemuk subur, lemas... ya lemas dengan 0 energi di dalam tubuh mereka, kepala mereka thela-thelo lemas.

Mardi, Ji’un dan rekan2nya melepaskan satu persatu tali yang melekat di tubuh sapi-sapi itu, ”bruggggggggghhhhh......” limousin tersungkur di tanah diikuti metal, brama dan puluhan sapi jawa lainnya. Biarpun tubuh mereka tlah menggelembung tambun, selang-selang itu masih tertancap di mulut, kucuran air terlus masuk deras ke lambungnya. Mata mereka mlorok pertanda kesakitan yang teramat sangat, Sagi perlahan menundukkan kepala, buliran air menetes deras dari kedua bola matanya, sesekali terdengar senggukan, tapi dia anak yang kuat, biarpun bodoh tapi dia anak pintar, anak yang tau mana yang seharunya dan tidak boleh terjadi. Tapi keberanian dan kekuatan tuk melawan belum bisa keluar dari raganya yang kecil itu, 13 tahun umurnya.

Jam sudah menunjukkan angka 1 siang pelepasan selang2 yang tertancap di mulut sapi itu harus dilepas. Keadaan yang mengenaskan, antara hidup dan mati, pasti sapi2 itu pilih mati saja saat ini, setelah 6 jam dipaksa meminum air yang berjumlah puluhan kubik. Mereka hanya bisa tidur tanpa bisa berbuat banyak. Istirahat siang, makanan dan minuman tersedia lengkap di pendapa rumah bos Darso, para pekerja termasuk Mardi dan Ji’un melahap hidangan dengan canda ria tanpa memikirkan apa yang telah mereka kerjakan adalah penyiksaan, sapi juga mahluk tuhan, ada cara yang halal tuk penyembelihan.

Ya... karena faktor uang lebih, Pak Darso melupakan hal itu, yang ada di pikirannya hanyalah untung, untung dan untung. Bayangkan dengan Rp. 45.000/Kg dengan satu sapi glonggongan mendapatkan 3-4 kuintal daging murni, belum termasuk pernak-pernik lainnya, ada tulang, ada kulit, ada kepala dan lainnya yang menempel di sapi. Setiap sapi menghasilkan keuntungan bersih 4 juta tinggal mengalikan berapa puluh sapi yang di potong, bandingkan dengan penyembelihan tanpa glonggongan satu sapi maksimal keuntungannya hanya 1,5 juta. Jauh banget.

Sapi-sapi yang telah tegulai lemas dibiarkan sampai tengah malam, sekitar 12 jam. Jarum jam menunjuk angka 11 malam, mereka harus kembali ke rumah Pak Darso untuk mulai memotong dan pengklasifikasian sesuai dengan bagian masing-masing. 4 jam berlalu 15 sapi itu selesai di proses, dikemas dan didistribusikan ke pedagang jaringan dading glonggongan, paling jauh adalah Jakarta dan Surabaya. Setiap 4 hari selama bulan ramadan sampai H-7 lebaran Pak Darso melaksanakan ”penganiayaan” terhadap minimal 10 sapi, dan disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan.

******/***********/***********

Hidup bergelimang harta, anak, dan isteri yang setia membuat Pak Darso bagaiakan hidup di surga, nikmat, nyaman, aman dan sejahtera. Suatu malam tanggal 14 Apit dalam penanggalan jawa, pikiran Pak Darso tidak tenang, seperti ada sesuatu yang mengganggu kenyamanan hidupnya, jam menunjukkan pukul 11.30 mata Darso belum terpejam, lampu dimatikan mencoba sekuat tenaga tuk memejamkan mata, akan tetapi tetap mata itu tak mau menutup malahan membelalak terbuka sampai pukul 00.20 Pak Darso mendengar kegaduhan di pendopo rumah belakang. ”ada apa itu” gumam Darso dalam hati, kaki-kaki gembul dia melangkah melewati kilauan marmer lantai rumahnya, dibuka pintu butulan belakang, seketika Pak Darso terperanjat, matanya melihat puluhan bahkan ratusan sapi yang berjoget riang gembira, kilatan lampu laser mengiringi hentakan musik, menggoyang tubuh sapi-sapi itu, aneka macam makanan dan minuman sapi tersedia melimpah ruah di pendopo yang memang sangat lapang, kaki gembul Darso menggigil mencoba sekuat tenaga lari sekencang-kencangnya, Darso tak peduli lagi dengan meja, kursi, tape deck dan perlengkapan rumah lainnya. Bruhgh... brah.... glondang.... pyarrrrr.... semua di terjang lari tunggang langgang, sorak sorai sapi-sapi itu terus mengejarnya, semakin kencang berlari semakin meriah, semakin semarak suara sapi-sapi itu.

Selama 4 jam Darso lari dan bergelinjang ketakutan, keringan mengucur membasahi baju tidur sutranya. Isteri, anak dan banyak tetangga berkumpul dirumah mewah itu mencoba menenangkan pak Darso, tapi penglihatan mata dan suara yang terdengar hanyalah kejaran dan suara sapi-sapi itu. Hingga kumandang adzan subuh pak darso masih bergelinjang berlari kesana-kemari, tak satu orangpun yang berhasil memberhentikannya. Semua terlihat mencekam ketakutan, ”sapi.... sapi.... sapi itu, pergi... pergi.. pergi.... oh..... tidak, jangan jangan injak-injak aku, ampuni aku, jangan jangan, janga................nnnnnnnnnnn...,” ”brugggggghhhhh... pyarrrrrrrrr” tubuh tambun Pak Darso rubuh menimpa keramik hias, pecah, berantakan.

Semua diam, berkumpul dirumah itu, setelah menunggu sejam akhirnya dia siuman, diminumnya air putih. Rasa ketakutan masih terlihat jelas di muka pak Darso, matanya memandang curiga setiap orang yang datang.

Sebulan telah berlalu kondisi pak Darso masih sama, yang kelihatan berbeda hanyalah tatapan kosong dan ketakutan serta bentuk tubuhnya, yang dulu gendut tambun sekarang kurus, hanya dalam satu bulan saja. Hingga suatu ketika seorang kiayi, salah satu teman Pak Darso, menjenguk, dia sudah mengetahui secara detail akar permasalahannya. Dibimbingnya pak Darso oleh kiai itu, perlahan namun pasti jiwa pak Darso mulai pulih, ”kamu harus tobat, tidak mengulangi cara itu lagi, dan satu yang pasti kamu harus minta maaf ke pada anak kecil itu” kata pak kiayi sambil menunjuk Sagi. Tetap bocah itu, duduk termenung di kursi kecil pojok ruangan itu, anak yang setia, anak yang terlupakan.

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar sesuai dengan isi artikel.