Rabu, 22 Oktober 2008

Polisi adalah (bukan) pengemis

Reformasi dan kecanggihan teknologi informasi khususnya di Indonesia membawa angin segar bagi para aktivis, sekedar merdeka untuk mengeluarkan suaranya. Internet merupakan media yang handal untuk menumpahkan segala keluh kesan dan pikiran kita. Melalui Internet pula kita saling berinteraksi dari satu komunitas ke komunitas yang lain.


Blog ini merupakan tumpahan angan pikiran dan harapan saya pribadi dan mewakili masyarakat umum kebanyakan.
Kali ini saya akan menganalisa dengan sedikit bukti dan kejadian, cerita-cerita dan analisa yang selama ini saya alami. Suatu ketika tepatnya pada hari Kamis, (16/10/08) saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, (mungkin) tukang parkir, dan isteri saya juga mengamatinya.
Pagi itu saya bersama isteri pergi keterminal untuk memesan tiket bus Patas Eksekutif untuk adik saya yang akan berangkat ke Tangerang. perjalanan kami lalui dengan damai aman dan menyenangkan, sesampainya disana salam serta sapa ramah bapak-bapak senyum manis tersungging dari bibirnya, terlihat dengan jelas wajah familiernya, mengenakan pakaian kemeja merah muda, celana hitam formal dengan lilitan ikat pinggang yang melekat erat. cekatan tangan bapak itu melayani pesanan kami, tak sampai 15 menit tiket sudah berada di tangan saya, begitu seterusnya antrean yang berjejal setelah saya. Bapak itu sangat terpuji, bijaksana menentukan sikap mendahulukan sesuai dengan antrian, entah siapa dana berapa umurnya, disiplin antrian. Demi gaji yang cuman sekitar 1 juta sebulan, bapak itu rela memandikan peluh dan pegal tangannya setiap hari dari pagi hingga tenggelamnya sang raja siang.
Sehabis berperang melawan kesabaran untuk mengantri tiket, sekarang giliran saya tuk mengantar isteri pergi ke pasar untuk mendapatkan ikan segar dan kepala ayam. Sebuah meja kecil di pojok pasar tradisional dengan bangunan baru (tidak terlalu becek dan berkesan nyaman, bersih) terlihat nenek-nenek yang menjual daging ayam segar, disampingnya ada bapak2 setengah baya kurus kering hitam legam dengan pakaian yang cukup kotor dan kumal sedang membawa sekarung sayuran. Ternyata dia seorang kuli panggul pasar, saya amati dengan penuh bijak, mereka semua setiap hari, rutinitas, mencari uang di sini di pasar ini dengan peluh dan tenaga yang super hanya untuk mendapatkan uang yang tak seberapa (tapi cukup buat kehidupan mereka) dengan tenaga yang luar biasa. Dengan umuran segitu, pagi2 duduk2 di depan rumah dengan kursi goyangnya di temani musik klasik klangenan, baca koran dan tak lupa kopi hangat dan makanan cemilan yang menggiurkan. Yah... uanglah yang menyebabkan mereka menjadi seperti ini, harus dijalani setiap hari demi keutuhan raga.
Lamunanku buyar, setelah pundak ini ditepuk oleh sang isteri tercinta. Perjalanan kami lanjutkan ke sebuah kedai soto yang terkenal di daerah saya. Sambil menunggu pesanan saya menyulut sebatang rokok putih, pesanan datang. Sambil makan saya banyak cerita tentang apa yang baru saja saya alami kepada isteri saya, yah... namanya wanita yang kurang peka (maaf isteriku terpaksa saya mencelamu) suasana, maka dia hanya bicara ya.. sudahlah, mereka ya mereka. sekarang tinggal kita mau gimana.
Setelah melahap 10 sendok soto, serta beberapa teguk es jeruk manis, datang rombongan bapak-bapak penegak hukum, Polisi, Polres setempat, dipundaknya terdapat 3 lambang bunga, pangkat AKBP, kapolres setempat dan beberapa ajudannya. Dilihat dari wajahnya dia terkesan sok, tapi ramah, tapi yang ajudannya sajak petentang-petenteng dengan pakaian olahraga khas polisi kuning dan dipadu hitam, pakaian training. masuk dengan gaya yang aduhai memcoba memesonakan pengunjung warung tersebut. dengan HP mewah keluaran terbaru di tangan kanan, rokok termahal di tangan kiri, kunci mobil di saku depan, dompet tebel, tentunya di saku celana belakang, seakan menguasai ruangan makan pagi itu, gelak tawa keras menggugah rasa untuk menyiramkan sisa makanan ini kemuka mereka. tak terkecuali penjabhat polisi tadi. selera makanku seketika hilang, aku ikhlaskan makanan enak ini untuk ayam si penjual soto.
Sampai di parkiran, perasaan yang berkecamuk di otakku terbukti, dipojok pintu belakang warung tadi seorang polisi berpangkat rendahan, kedatangan "tamu" dan terlihat dengan jelas menyerahkan kertas putih tebal, kupandang sejenak sambil memegang sepeda motor saya, rupanya polisi tadi tak melihat bahwa saya telah memperhatikannya.
Betapa bodohnya dia, dan mungkin dia pamer, kertas tadi rupanya amplop yang berisi uang biru gelap, kira2 3-4 lembar. jelas itu uang, dan tidak mungkin salah dan jelas itu uang pecahan 50rban. lumayan 200rb, dari mana asalnya dan siapa gerangan wanita yang memberikan itu, perasaan itu selalu berkecamuk di otakku, sekilas terdengan kata-kata "ya itu dulu pak, nanti kita kasih lagi" dasar pikiranku itu kotor terhadap penegak hukum yang satu ini, itu adalah uang rampokan dari mungkin seorang pedagang, karyawan, atau pengusaha yang melanggar atau di langgarkan oleh mereka.
satu yang pasti, betapa naifnya mereka, mereka tak memeras keringat, tak membanting tulang dan tak bersusah payah untuk menghasilkan uang, mereka mengandalkan statusnya, uang datang sendiri. coba bandingkan dengan manusia2 yang saya ceritakan diatas tadi dengan polisi, jauh sekali. penjahat terlindung hukum, pengemis orang pengemis, pengemis bermobil. selalu ROMANTIS (rokok makan gratis). itulah sepenggal kisah pagi itu, tidak semua itu salah dan tidak semua itu benar, didalam kesalahan pasti ada secuil kebenaran dan sebaliknya. pikirkan resapi dan rasakan dengan alam pikiran.

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar sesuai dengan isi artikel.