Jumat, 19 September 2008

Keberanian kambing BLT BBM

Sehari setelah isu itu tersebar luas melalui media massa, hati dan perasaanku tak enak, dihantui kesalahan yang teramat sangat hingga menyebabkan tidur dan makan tak enak.


Hari itu Sabtu, dimana seharusnya saya menikmati bantuan dari pemerintah yang lebih dari cukup buat kami dan keluarga.
Semua masalah itu terjadi karena musyawarah mufakat warga kampong, musyawarah yang selalu datang dari satu orang dan itu di anggap terbaik dan (selalu) di sepakati oleh seluruh warga. Tidakkah terbetik sedikitpun tentang uneg-uneg setiap warga lemah, seperti auman singa diantara ribuan embikan kambing. Setiap waktu kejadian itu selalu terulang, dan kahirnya giliran keluarga kami yang mendapatkan bebendu itu. Dikucilkan warga.

***
“para sedulurku kabeh sok Setu bantuan BLT mudun” keras dan lantang, suara itu keluar dari mimbar depan deretan tempat dudukku. Sambil mengusap-usap jambangnya yang sudah mulai tumbuh lebat, pak Margo begitu warga memanggil ketua RW V Harjo Winangun, berperawakan tinggi besar, warna khas kulit warga petani desa, mengumumkan tentang bantuan langsung tunai atas kenaikan harga bahan bakar mesin kepada seluruh rakyat Nusantara ini. Tepuk tangan serta suara riuh rendah menggema memenuhi ruangan itu, sesekali asap rokok keluar dari mulut saya sambil berbincang-bincang dengan kang Karto.
“meh diapakan lagi ya kang, yang penting kita setuju saja kang” bisik saya tepat di samping telinga kang Karto. “wis pokoke ikhlas, meh dik enggo opo wae yoben, apalah artinya usulan kita di mata meraka, benar ndak dimas?” kekehan khas kang Karto membentuk alunan nada syahdu seperti nyanyian camelianya Ebit G Ade.
Setelah beberapa saat Pak Margo diam sejenak sambil menikmati penghormatan dari warganya, “saya mempunyai gagasan, pandangan, dan angan-angan, supaya bantuan itu kita ambil secara kolektif, setelah itu kita gunakan untuk membangun pos ronda dan bak air di pojokan rumah saya.” Ocehan panjang dan lebar yang menegaskan kearoganan pak Margo Mangundirowo, suasana menjadi hening, diam seribusa basa, penghuni aula itu saling pandang satu sama lain. Naungan asap rokok tebal, sumpek, telah menggambarkan dengan jelas tetang sesuatu yang berkecamuk di dalam sanubari kami, termasuk saya.
“bukannya tujuan utama dari bantuan itu untuk kesejahteraan warga miskin pak RW?” wow…wow…wow… ternyata di atara kumpulan kambing ini ada seekor anak singa, ya suara tadi kelaur dari mulut kan Karto, tak kusangka dia sehebat dan seberani itu.
“Karto… itu kan menurut kamu, sedulurku kabeh kepentingan umum harus di atas kepentingan pribadi, jadi kita sepakati saja sesuai usulan saya tadi, bagimana setuju?” watak asli pak Margo mulai terlihat, tetapi warga tetap menganggap itu adalah kebenaran, “setuju…..,” paduan suara warga Harjo Winangun, dan musyawarah telah mufakat, rapat bubar.

****
Pundak ini terasa berat seakan tertimpa segelondong kayu jati “Wardi… bilang sama kakangmu, ora usah golek perkara sama saya, kalau dia macam-macam tak laporkan polisi nanti, bilang sama kakangmu…,” sejak saat itu keluarga saya selalu menjadi buah bibir warga kampong bahkan satu desa telah memahami isu tersebut, kami sekeluarga mendadak menjadi seperti buronan negara. Di perempatan, di warung, di sawah, di sendang dan di semua sudut desa pembicaraan terhangat tentang kelakuan “jelek” keluarga kami. Bagi kami yang warga miskin, dan sebagai buruh serabutan uang 300 ribu teramatlah banyak, dan itu bisa untuk membayar tunggakan utang.
Sinar matahari pagi menyembul di balik pohon pisang kebunku, suara embikan kambing menggugah semangatku untuk merumput. Pagi itu sekita jam 10 saya bersama dua teman dan kang Karto pergi ke ladang untuk merumput dan menanti pemakai jasa kami. Dari arah selatan berjalanlah tiga orang wanita, ada yang membawa kamera, video shotting dan mereka memegang pulpen dan buku kecil. Dalam batin saya siapa mereka, kalau dari pakaian dan barang bawaannya sepertinya wartawan, benar sekali dugaanku, di bajunya tertulis SA TV, Solo News, dan Kampus. “Permisi bapak-bapak, apakah benar ini desa Harjo Winangun?” Tanya seorang gadis berparas cantik berbalut jilbab di kepalanya, “nggih benar mbak, memangnya ada apa to mbak?” ucap Sarjo, “monggo duduk di brak sini mbak, sambil istirahat,” pinta Ucup kepada para mbak wartawan tadi.
“wah terimakasih bapak, oya… bapak-bapak ini warga Harjo?”
“betul mbak” paduan suara itu muncul kembali, “kebetulan nih, saya dari jurnlis mau wawancara sedikit tentang kasus bantuan BLT BBM pak.”
“oya… mari kita berbincang apa adanya mbak,” semangat kang Karto seperti mau di ajak rekreasi saja. Obrolan kami berlanjut sampai matahari condong ke barat, dan percakapan ini berakhir.
”terimakasih bapak-bapak atas informasinya, semoga kami dapat membantu, sesuai dengan bidang kami” ucap mbak wartawan tadi, “sama-sama” lagi-lagi koor yang jelak dan tak membentuk irama itu muncul kembali.

****
Berselang satu hari kabar itu telah luas menyebar keluar daerah, satu propinsi, nasional bahkan ke rancah internasional, semua orang telah mendengan dan mengetahuinya. Perasaanku semakin tidak karuan, sedih, takut, dan terkucil. Ketakutanku akhirnya terbukti benar, setelah berita itu terbit di pagi hari, sore harinya pak margo mencak-mencak di depan rumah kami. “Hei… Karto, berani-beraninya kalian menyebar fitnah, mencemarkan nama baik saya, lihat saja nanti saya akan melaporkan ke pihak yang berwajib,” gertak pak RW. Egois, sombong, angkuh, jahat, semua watak jelak muncul dihapan kami.
Keesokan harinya beberapa polis menyerahkan surat pemeriksaan terdap kang Karto, “pak, mbok, dimas, sudah tidak usah pada takut, kita akan menguak kebenaran, dan itu pasti akan ada jalannya, kita pasrah kepada yang maha memiliki.” Waktu berjalan melambat, hari-hari kami lalui dengan perasaan gelisah, mulut ini tak terlepas dari dzikir dan doa. Semua berjalan sesuai kehendaknya, Allah selalu menpati janji-janjinya, bersama, keluarga miskin ini telah melewati badai yang jika dinalar tidak bisa melewatinya, tapi dengan seijin-Nya semua berjalan dan berakhir dengan kebahagiaan. Semua orang sekarang tau, mana yang benar dan mana yang salah, kang Karto tersenyum puas. “bulan depan ada pemilihan ketua RW baru kang, dan kakang salah satu kandidatnya,” kataku pada kang Karto. Semoga….

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan mengisi komentar sesuai dengan isi artikel.